Sabtu, 18 Juni 2011

Kulminasi


PDF Print
Sunday, 19 June 2011
Hari ini Nahsihah genap berumur 45 tahun–seorang wanita lajang dengan usia 45 tahun. ”Tidak ada yang salah dengan berusia 45 tahun…,” gumam Nahsihah sambil becermin, menatap bola mata yang balik menatap dengan kehampaan, kesedihan, dan kebimbangan.

Menaikkan tangan kiri dan meraba pipi yang terasa lelah menggantung, daging yang kehilangan lemak, air, dan kemudaan– sehinggaterasa lembek,hampa isi. ”Tidak ada yang salah,”gumamnya meyakinkan diri sendiri, tapi sia-sia saat sebuah kesadaran berdenyar dalam otak, ”selain kenyataan: kau belum menikah,kau tidak lagi pernah dilirik oleh lelaki dan semakin tidak berani melirik lelaki.

” Kalimat itu menjadi rentetan pusaran yang melebar dan makin lebar seperti gelombang yang dibangkitkan oleh bongkah batu yang jatuh kecemplung ke lubuk di tengah malam. Menjotok dengan bunyi yang mengoyak dingin dan membuat harmoni bunyi serangga malam sesaat berhenti. Cekaman yang membuatnya merasa sendiri–semakin merasa sendiri di tengah malam. Dan saat itu memang tengah malam.

Karena ia senantiasa terjaga sampai lepas tengah malam, tak lagi seperti dulu– ketika terbiasa tidur sejak sore lantas otomatis terjaga selepas tengah malam buat tahajud. Termenung dan terkantukkantuk, lalu tersentak bagaikan kolam yang berulangulang dijatuhi batu. Merasakan gema kesunyian meluas, bolak-balik tenggelam dalam pendar-pendar kesendirian yang menggeriap dan berulang- ulang menenggelamkannya dalam riak rindu.

Menimbulkan ratusan cekaman yang menggurat perih rongga dada, sekaligus ratusan cekauan di pangkal batang tenggorokan, yang diikuti semacam rasa tak enak di lorong hidung, yang pelan jadi linangan duka di kelopak mata.Kesedihan jamjam yang dipenuhi resah tak bisa tidur itu. Keterpencilan yang hadir tiap malam. ”APA memang harus disedihkan?” gumamnya, ”apa itu berkaitan dengan fakta bahwa aku belum bersuami dan tak mungkin akan punya suami?” Sunyi.

Suara malam menyebabkan seluruh kesendirian dalam keterpencilan itu menjadi pendar lemah yang menepi di sisi lubuk,lalu sebuah batu kegelisahan akan jatuh lagi. Menimbulkan bunyi jebur yang membuat suara malam undur, membuat Nahsihah hanya sendiri dalam kesunyian yang perkasa, dalam resah dengan berbagai tanya.Tentang: ke mana kemudaan? Ke mana semua lelaki yang diimpikannya itu?

Dan: apa masih berhak membayangkan ada seorang lelaki yang muncul mengisi sisa hari dalam kebersamaan rumah tangga? Apa memang ditakdirkan untuk selalu sendiri dan bersunyi dalam kesendirian? Dan: apa cara terbaik mengamalkan kesendirian si perempuan lajang yang tak berhak lagi mengharapkan dapat suami? Konsentrasi pada muridkah?

Memaksa semua murid jadi berbicara Inggris dan menguasai dunia dengan basis pelajaran bahasa Inggris darinya? ”Hari-hari yang kosong,” gumamnya. ”Tidak lagi sekadar hari, tapi bulan dan tahun yang kosong. Hampa sepanjang waktu,” teriak suara lain.

”Kau selalu telat, sangat mengantuk ketika bersiap untuk kerja, malah terkadang tidak sempat sarapan karena bergegas pergi ke sekolah agar tak terlambat mengajar,” sergah suara lain,”karenanya kau gampang marah–langsung nyinyir serta menyindir selama dua jam pelajaran–, bahkan untuk kesalahan yang sebenarnya sepele.

Ya kan? Dan meski kau ingin stop tetap tak bisa stop!” SEJAK usia 33 tahun Nahsihah sukar tidur sore dan karenanya tak bisa terjaga selewat tengah malam untuk tahajud– karenanya ia mulai menelan pil tidur.Di usia 40 tahun pil-pil itu tak berguna. Bahkan tidak pernah bisa tidur lagi setelah tahajud meski sejak jam 22.00 itu menelan tiga butir pil tidur, bahkan kini lima butir pil tidur.

Siang hari, ketika jam istirahat kedua ia makan di kantin sekolah–nasi bungkus dengan lauk separuh telur rebus,irisan kering tempe,seonggok mi,serta sambal yang banyak. Mengisi perut ditemani segelas es teh.

Terkadang ia membeli sebungkus lagi buat makan malam. Atau melenggang pulang, beristirahat mengharap terlelap agar di petang hari bersibuk dengan semua tugas siswa atau LKS, bersibuk menunggu kantuk sambil bersiap mencegat tukang nasi goreng lewat sekitar jam 22.00–langganan sejak 15 tahun lalu–,yang setia lewat depan rumah, yang berhenti di depan rumah dan kuat memukulkan sutil logam ke cekung wajan yang diberi gagang kayu satu kupingnya.

Berangin-angin di teras, menurunkan didih amarah untuk PR yang dikerjakan tanpa penguasaan basis materi pelajaran yang dengan sungguh-sungguh diberikan di kelas, LKSyangtelatdikumpulkan dan selalu dengan jawaban yang kentara hasil dari menyontekjawabansisiswa pinter Inggris atau LKS kelas lain.

 ”Kenapa kalian goblok?” teriaknya. Anak-anak itu diam dan cuma bisu.Kenapa hanya membungkam? Apa karena otaknya sudah membeku sehingga tidak bisa pecah, mencair oleh makian dan hinaan? Apa (mungkin) harus dengan pukulan di dagu serta tamparan di pipi? Tapi apa pantas ia memukul dan menampar setelah selama dua jam pelajaran ia berteriak, memaki serta mengetukkan penghapus di papan tulis?

Bahkan sengaja tak mengajar mereka–dengan ancaman akan mendapat biji nol –, bila masih goblok tak bisa menghafal lima puluh kata irregular verbs. Mogok mengajar sampai akhirnya KS memanggil dan menyuruhnya untuk mengajar lagi–meski para siswa itu tampak senang ia tak masuk mengajar,selalu. Di 10 tahun pertama ia bisa mengatasi ketakmampuan itu dengan hiburan: masih ada siswa yang mampu menangkap materi yang diajarkan.

Kemudian KS baru menerapkan sistem kelas unggulan dan banyak kelas nonunggulan yang membuatnya kesulitan mengajar sehingga ia mogok mengajar dan KS mengalah dengan memindahkannya ke kelas unggulan untuk mengajar muridmurid pintar yang gampang diajari.Tahun ke-11,ketika ada gejolak karena ditempatkan di kelas nonunggulan, KS baru malah memutasi Nahsihah jadi guru tata boga–yang melulu mengajari teori memasak, pengetahuan resep, serta praktik memasak.

”Agar Bu Nah tak kerepotan ngajar, tak repot menyuruh anak-anak menghafal,” katanya. Ia mati kutu–saat itu ia bersumpah akan punya anak yang sejak balita sangat fasih berbahasa Inggris, dari lelaki mapan beriman yang amat lihai berbahasa Inggris. Tahun ke- 15, masuk KS baru, Nahsihah kembali mengajar bahasa Inggris, dan merasa harus marah lebih keras dan mengamuk lebih dramatis supaya siswa-siswanya hafal irregular verbs, fasih melafalkan kata Inggris dengan intonasi yang jelas hingga terlihat jelas perbedaan di antara love dengan laugh, di antara bull dengan ball.

Agar bisa membedakannya dengan praktik listening intensif. Kerja keras yang jadi sia-sia karena setelah 10,15 dan 20 tahun alumni yang berturut-turut bikin reuni itu tidak ada yang ingat dan mengundangnya. MESKIPUN Nahsihah tak pernah diundang dan guruguru yang diundang tidak pernah bercerita,santer terdengar berita–dan Nahsihah mendengarnya–: si bekas muridmurid yang bereuni itu selalu mencemoohkannya,mengungkit kegalakannya, amarah yang meledak berjam-jam tanpa ada jeda berhenti untuk halhal sepele.

Dan seorang Hambali, kini kelasi di kapal pesiar yang beroperasi di Laut Karibi itu, yang setelah STM memilih bekerja di LN agar pinter berbahasa Inggris itu, bercerita bahwa sekali waktu ingin menemui Nahsihah buat memamerkan bicara Inggrisnya.Kurang ajar! Tapi sampai kini kunyuk itu tak pernah mampir ke rumah.

Apa karena dia hanya pinter conversation, berbahasa Inggris slang tanpa acuan grammar yang jelas? Lantas ada cerita berembus: ”Paling-paling aku DO, jadi tukang becak gantiin bapak, jadi buat apa bahasa Inggris.” Yang paling menyakitkan, ”Itu karena Nahsihah itu jomblo, yang tak tahu beda dari pengalaman kissing dan ngising, tidak paham kalau mulut itu ya untuk berciuman dan bercumbu, dan bukan melulu menggerutu dan ngamuk.

” Seiring desas- desus yang menandaskan bila semua amarah dan pitam yang bisa berjam-jam itu karena Nahsihah stres, ketika– dengan mengutip teori Sigmund Freud,yang versi Inggrisnya Nahsihah baca–segala keinginan untuk instingtif memuaskan dorongan libido dan tenggelam di dalam segala kenikmatan duniawi itu terpaksa ditekan ke alam bawah sadar karena tak punya pacar,tak pernah pacaran, dan tak tahu cara menyenangkan diri sendiri dengan makan enak.

 Karena Nahsihah hanya tahu ngising doang tanpa kematangan genital. Gila! TENGAH malam, sebelum ambil wudu untuk tahajud agar bisa tertidur, Nahsihah menilai diri.Tenggelam dalam tanya: ke mana perginya gairah muda masa SMA dan mahasiswa, ke mana perginya aura ketotalan ingin memfasihkan anak didik berbahasa Inggris agar diterima di pergaulan internasional, serta ke mana terbangnya isi tahun-tahun kosong yang tidak ada menyisa-kan seorang kenalan lelaki yang punya perhatian tulus, yang tanpa ada teman pria serius yang mengejarnya dalam kenangan?


Kenapa ia hanya sendiri. Terasing di rumah sejak kanakkanak, selalu merasa sendiri tak begitu diperhatikan ayah dan ibu yang sibuk dengan tiga kakak dan dua adik. Dan sunyi mengental ketika semua saudaranya pergi ke luar rumah, tersebar dan berada di mana-mana dan ia malah memilih pulang setelah kuliah dan menjadi guru di kota ini.

Kesendirian yang disiapkan seluruh saudaranya, agar senantiasa menemani ayah yang pensiun dan ibu yang lelah. Dan semakin sendiri ketika ayah meninggal–di tahun berikutnya ibunya menyusul–, tenggelam dalam kesunyian rumah besar tanpa siapa pun karena sejak saat itu semua saudaranya makin jarang pulang–meski di hari lebaran.
Menandaskan bila ia bukan apa-apa bagi siapa pun, tak pernah jadi sang siapa yang ditandai sehingga patut diperhatikan dan dipertimbangkan. ”Kau itu terlalu pemilih,” kata si Marliru Sibarangin, ”pada seusiamu itu kau bukan yang memilih,tapi yang dipilih. Jadi turuninkriteria idealmu.” Nahsihah tersenyum.

Apa salah bila mengharap lelaki yang fasih Inggris, pinter berbahasa Arab, dan terutama hafiz dan jago tafsir Quran– selain berjabatan mapan? Ya! Apa salah memimpikan yang ideal? Apa kriteria ideal harus direduksi saat umur berkepala 40-an–terlebih di masa krisis 45 tahun–? Haruskah? Nahsihah tidak tahu meski tak kehilangan harapan–satusatunya yang tertinggal dan dimilikinya dengan makin intensif mendekatkan diri pada Allah SWT.

”Ampuni hamba, ya Rabbi...,” bisiknya sambil beristigfar– bahkan terisak-isak dalam tersungkur di sujud rakaat terakhir salat taubat. NAHSIHAH tak tahu, tak pernah tahu.Bahkan ketika pagi itu ada seorang lelaki berpakaian putih-putih,dengan rambut putih sebahu, telah menunggunya di kiri pintu halaman,yang amat santun menyapanya dengan bahasa Inggris dengan aksen Oxford sempurna,yang membuatnya tercengang serta mandah dipersilakan secara British’s gentleman, memasuki mobil yang pintunya sigap dibukakan baginya.

 Sebuah limusin berwarna perak yang lembut melesat ke langit.Nun– dalam perasaan Nahsihah. Berita kematian yang bersegera menyebar di antero Carbonado– Bu Nahsihah terjerembab dan langsung meninggal dengan tersungkur di depan pintu halaman–, yang disambut dengan kelegaan dan keriangan oleh semua guru,karyawan, dan terutama para murid.

 ”Go to Hell without your home work, irregular verbs, and listening ...” ”Thank God!” kata semua siswa–serentak. ”The nice problem solving, Lord ...”kata KS baru. Sembari bersandar Nahsihah tersenyum mendengarkan semua manifestasi sok Inggris dari murid-muridnya. BENI SETIA E-Mail: benisetia54@yahoo.com  
 
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/406758/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

VIVAnews - DUNIA

Popular Posts

buka blog

  © Blogger templates The Transformers by Blog Tips And Trick 2009